AKSARA LONTARA BUGIS
Lontara adalah aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar.
Bentuk aksara lontara menurut budayawan Prof Mattulada (alm) berasal
dari "sulapa eppa wala suji". Wala suji berasal dari kata wala yang artinya pemisah/pagar/penjaga dan suji yang berarti putri. Wala Suji
adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah
ketupat. Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar
klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin-tanah. Huruf
lontara ini pada umumnya dipakai untuk menulis tata aturan pemerintahan
dan kemasyarakatan. Naskah ditulis pada daun lontar menggunakan lidi atau kalam yang terbuat dari ijuk kasar (kira-kira sebesar lidi).
SEJARAH
Lontara adalah perkembangan dari tulisan Kawi
yang digunakan di kepulauan Indonesia sekitar tahun 800-an. Namun dari
itu, tidak diketahui apakah Lontara merupakan turunan langsung dari Kawi
atau dari kerabat Kawi lain karena kurangnya bukti. Terdapat teori yang
menyatakan bahwa tulisan Lontara didasarkan pada tulisan Rejang,
Sumatra selatan karena adanya kesamaan grafis di antara dua tulisan
tersebut. Namun hal ini tidak berdasar, karena beberapa huruf lontara
merupakan perkembangan yang berumur lebih muda.
Istilah "Lontara" juga mengacu pada literatur mengenai sejarah dan geneologi masyarakat Bugis. Contoh paling panjang dan terkenal barangkali merupakan mitos penciptaan bugis Sure’ Galigo,
dengan jumlah halaman yang mencapai 6000 lembar. Lontara pernah dipakai
untuk menulis berbagai macam dokumen, dari peta, hukum perdagangan,
surat perjanjian, hingga buku harian. Dokumen-dokumen ini biasa ditulis
dalam sebuah buku, namun terdapat juga medium tulis tradisional bernama Lontara’, dimana selembar daun lontar yang panjang dan tipis digulungkan pada dua buah poros kayu sebagaimana halnya pita rekaman pada tape recorder. Teks kemudian dibaca dengan menggulung lembar tipis tersebut dari kiri ke kanan.
Walaupun penggunaan aksara Latin telah menggantikan Lontara, tulisan ini masih dipakai dalam lingkup kecil masyarakat Bugis dan Makassar.
Dalam komunitas Bugis, penggunaan Lontara terbatas dalam upacara
seperti pernikahan, sementara di Makassar tulisan Lontara kadang
dibubuhkan dalam tanda tangan dan dokumen pribadi.
Walaupun penggunaan aksara Latin telah menggantikan Lontara, tulisan ini masih dipakai dalam lingkup kecil masyarakat Bugis dan Makassar. Dalam komunitas Bugis, penggunaan Lontara terbatas dalam upacara seperti pernikahan, sementara di Makassar tulisan Lontara kadang dibubuhkan dalam tanda tangan dan dokumen pribadi.
PENGGUNAAN
Lontara adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari 23 konsonan. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan mempunyai vokal inheren /a/, dapat dibaca /ɔ/ dalam bahasa Bugis (artikulasi vokal inheren yang sama dapat ditemukan dalam aksara Jawa),
yang diubah dengan pemberian diakritik tertentu menjadi vokal /i/, /u/,
/e/, /ə/, atau /o/. Namun dari itu, Lontara tidak memiliki sebuah tanda
virama (tanda pemati vokal) atau tanda konsonan akhir. Bunyi nasal /ŋ/, glotal /ʔ/, dan gemitasi
konsonan dalam bahasa Bugis tidak ditulis. Karena itu, teks Lontara
dapat menjadi sangat rancu bagi yang tidak terbiasa. Semisal ᨔᨑ dapat dibaca sara 'kesedihan', sara' 'menguasai', atau sarang 'sarang'.
Masyarakat Bugis memanfaatkan kekurangan tulisan ini dalam permainan bahasa Basa to Bakke’ ᨅᨔ ᨈᨚ ᨅᨙᨀ ('bahasa orang-orang Bakke’') dan Elong maliung bəttuanna ᨕᨒᨚ ᨆᨒᨗᨕᨘ ᨅᨛᨈᨘᨕᨊ ('lagu dengan arti dalam').Basa to Bakke’
hampir sama dengan mengejek, dimana dua kata dengan makna berbeda namun
pengejaan yang sama dimanipulasi untuk membentuk frase dengan makna
tersembunyi. Elong maliung bettuanna juga bekerja dengan prinsip
yang sama, dimana pendengar menerka cara baca yang benar dari suatu
puisi tidak bermakna untuk menyingkap pesan dari puisi tersebut.
Lontara ditulis dari kiri ke kanan, namun tulisan ini juga dapat ditulis secara tidak beraturan (boustrophedon).
Umumnya metode kedua diterapkan dalam buku harian Bugis tua, yang
setiap halamannya direservasi untuk kejadian dalam satu hari saja.
Ketika seorang penulis kehabisan tempat untuk kejadian satu hari, baris
terakhir akan berbelok dan berputar dalam alur zig-zag hingga tidak
tersisa tempat lagi di halaman tersebut.
BENTUK AKSARA
Huruf-huruf Lontara kontemporer dengan mudah dapat diidentifikasi dari
bentuknya yang cenderung lebih kaku dan anguler dibanding aksara Brahmi lainnya. Terdapat dua varian tua yang bentuknya lebih melengkung; Toa jangang-jangang dan Bilang-bilang. Lontara ditulis tanpa spasi (scriptio continua).
0 komentar: